Selamat Datang

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Wednesday, December 25, 2019

kerahiman ilahi

Wajah Kerahiman Ilahi dalam Penderitaan?
(Refleksi atas teks Luk 18:35-43)


Gambar: avilashop.com
Allah mengerti, Allah peduli
Segala persoalan yang kita hadapi.
Tak akan pernah dibiarkan-Nya
Kubergumul sendiri, sbab Allah peduli”
Begitulah bunyi refrain syair dari lagu ‘Allah Peduli’. Lagu ini ingin menampilkan Kerahiman Allah bagi setiap makhluk ciptaan Tuhan, yakni manusia. Setiap persoalan, kebuntuan jalan, jeritan dan tangis, etc., yang dihadapi manusia akan selalu ditolong oleh kebaikan hati Allah.
            Hanya saja ketika merenungkan lagu ini, saya lalu bertanya dalam sanubari: Apakah Allah itu sungguh-sungguh maharahim? Atau paling tidak seperti terukir dalam lagu ‘Allah Peduli’? Lalu, jika Dia adalah Maharahim, mengapa ISIS dan kejahatannya itu ada? Mengapa terjadi pengeboman di Paris, Istanbul, Jakarta dan di Burkina Faso? Di manakah Wajah Kerahiman Allah dalam setiap penderitaan itu?

Allah Maharahim dalam Luk 18:35-43
Saya ingin mencoba untuk menemukan Wajah Kerahiman Allah melalui teks dari Lukas ini. Akan tetapi untuk melihat Wajah Kerahiman Illahi itu, saya ingin membuat skematisasi kronologis dari teks ini dalam beberapa bagian besar.

1. Ayat 35
Ayat ini memunculkan dua tokoh yakni Yesus yang baru saja tiba di Yeriko sambil mewartakan Injil (coming and preaching The Gospel) dan seorang buta yang sedang duduk di pinggir jalan sambil mengemis belaskasih dari siapa saja yang lewat. Kedua tokoh ini digambarkan demikian; Yesus sebagai Pribadi ber-Rahim dan si buta yang digambarkan sebagai orang yang terus mengingini belaskasih dari orang sampai ia sendiri menemukan belaskasih yang paling Agung. Dalam Markus, si buta diberi nama Bartimeus (cf. Mrk 10:46-52).

 2. Ayat 36-39
Ayat-ayat ini semakin menunjukkan/memperdalam karakter dari kedua tokoh ini. Penginjil Lukas semakin menempatkan Yesus sebagai Pribadi yang dieluk-elukan, sebagai Orang penting, sebagai Orang Besar, sebagai Rabbi. Sedangkan bagi si buta, Penginjil Lukas menempatkannya sebagai orang yang tidak berdaya, tidak tahu apa-apa. Tetapi perlu diketahui di sini bahwa si buta ini memiliki pengharapan. Pengharapan ini seakah terasa ‘matching’ ketika ada yang memberitakan kepadanya ihwal kedatangan Yesus. Giliran pertama diisi oleh si buta.
Jeritan si buta akan belaskasih Allah menyerupai jeritan Israel sewaktu berada di perbudakan, di Mesir (Kel 2:23-25). Menariknya, cerita berlanjut dengan teriakan si buta akan belaskasih Yesus. Teriakan itu spontan tanpa pikir panjang. Barangkali si buta ini pernah mendengar tentang mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus maupun ajaran-ajaran yang pernah diwartakan Yesus.
Teriakan si buta berjumlah dua kali. Setelah teriakan pertama ditegur orang lain. Mungkin saat itu khalayak ramai sedang khusuk mendengar ajaran Yesus. Tetapi si buta tidak mau tahu. Segera ia berteriak lagi. Teriakan kedua didengar oleh Yesus.

3. Ayat 40-42
Kini giliran Yesus yang beraksi.Rupa-rupanya teriakan si buta didengar oleh Yesus, kendati si buta harus berteriak sebanyak dua kali. Yesus pun berhenti dan menyuruh orang lain membawa si buta kepada-Nya (ay 40). Sampao akhirnya ada dialog iman yang tejadi di sana (ay 41-42). Keduanya semakin ‘intim’ dalam berdialog karena adanya keterbukaan untuk saling menerima pribadi lain: si buta ingin disembuhkan dan Yesus juga mencari su buta itu (ingat perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang (Luk 15:1-7), dirham yang hilang (8-10), dan anak yang hilang (11-32)).
Kerahiman yang ada dalam Pribadi Yesus mendapat intinya dalam ayat ini. Yesus berhenti dalam perjalanan-Nya dan menyuruh orang untuk membawa si buta kepada-Nya, lalu menyembuhkan si buta. Di sinilah puncak Kerahiman Yesus terhadap jeritan hati si buta: si buta disembuhkan. Namun, Kerahiman itu menjadi nampak wujudnya setelah si buta mau mendekatkan dirinya pada Yesus. Di sini penginjil Lukas mempromosikan satu hal pentingbahwa Kerahiman itu manis rasanya ketika orang mendekati Tuhan: bertemu dari muka ke muka.

3. Ayat 43
Menariknya, penyembuhan yang dirasakan oleh si buta yang telah disembuhkan rupanya menjadi ‘virus’ bagi orang sekitar. Kontak batin antara yang disembuhkan dan yang sedang menyaksikan mujizat itu menjadi terhubung menjadi satu ‘network’. Kebahagiaan si buta adalah juga kebahagiaan orang lain. Penyembuhan bagi si buta adalah juga penyembuhan bagi orang lain. Mungkin kita dapat menginterpretasikan demikian: Yang buta tidak hanya si buta, melainkan juga orang di sekitarnya. Mata terbuka dari satu orang orang menjalar kepada orang lain. Rupa-rupanya Allah tidak ingin jika Kerahiman-Nya hanya dirasakan oleh satu orang saja. Orang lain pun juga harus merasakannya. Tidak baik kalau Kerahiman dinikmati oleh manusia seorang diri saja. Harus ada orang lain yang juga turut dalam Kerahiman-Nya (cf. Kej 2:18).

Kerahiman Allah: Sebuah Undangan
Membaca narasi Yesus menyembuhkan si buta, boleh dikatakan sebagai sebuah undangan. Undangan Yesus bersifat resmi dan disebarkan kepada siapa saja secara cuma-cuma. Undangan itu mendapat respon yang baik, khususnya repon dari si buta. Si buta tidak menyia-nyiakan undangan itu. undangan itu tidak dilewatkan begitu saja seperti angin lalu.
            Sangat beruntung pernah mendengar bahwa si buta masih memiliki pendengaran yang baik. dibantu oleh yang memberitakan, si buta mampu mnyerap dengan baik informasi tentang Yesus melalui pendengaran. Bisa saja si buta pernah mendengar perbuatan-perbuatan tangan Yesus. Dan itu ia serap melalui pendengarannya. Berita-berita tentang kisah hidup Yesus yang ia dengar dari orang lain disimpannya dengan amat rapi dalam ‘rak ingatan’.
            Hingga saatnya pun tiba. Kesempatan dibaca dengan cermat. Mungkin perlu kita ingat drama ‘duduk’ yang dilakoni oleh si buta sebagaimana diberitakan dalam ayat 35 menandaskan sebuah penantian akan sesuatu yang bisa mengubah hidup menjadi lebih baik. Drama ’duduk dalam penantian’ menjadi tema penting dalam teks Lukas ini.
            Namun, duduk dalam penantian tidak bisa dilihat secara pasif oleh pembaca. Justru sebaliknya harus dilihat dalam arti aktif. artinya ada secuil pengharapan dari si buta untuk dapat melihat indahnya dunia. Maka tidak salah jika harapan itu di-aktus-kan dimulai dengan meneriakan “Yesus Anak Daud, kasihanilah aku!
            Harapan itu berbuah baik. atau dari perspektif Yesus, undangan itu mendapat respon yang baik dari yang diundang. Tanpa tedenga aling-aling, Yesus pun membuka pintu bagi mereka yang mau menanggapi undangan-Nya. Hasilnya pun dirasa sangat positif oleh si buta yang kini sudah dapat melihat.
            Kerahiman Allah dilihat sebagai undangan resmi yang tersebar secara cuma-cuma. Tetapi tidak sedikit kalau undangan itu tercecer dalam situasi hidup manusia yang penuh ketegangan, gawat darurat, mendesak, gelap, sakit, etc. Seperti kisah-kisah tragis dalam tema terorisme yang saat ini begitu hangat dibicarakan dalam publik, mampukah kita melihat Kerahiman Ilahi yang sedang bereksistensi di sana?

Situasi Kita: Kerahiman Allah dibalik Penderitaan
Tom Jacob, SJ pernah mengomentari teks Lukas ini. Bahwa para murid buta untuk misteri Kerajaan Allah. Yesus akan membuka mata mereka dengan kebangkitan-Nya. Hal itu dilambangkan dengan penyembuhan orang buta (Tom Jacob, 2006:118). Makna kisah mulai terbuka. Adalah para murid yang tidak mampu melihat makna asali misteri Kerajaan Allah dalam penderitaan. Melalui kisah penyembuhan orang buta, Yesus ingin membuka ‘mata’ para murid untuk melihat seperti apa Kerajaan Allah itu. Sebab arti Kerajaan itu masih tersembuni bagi mereka (Luk 18:34).
            ‘Kebutaan’ yang dialami oleh para murid mungkin didasari oleh perspektif mereka sendiri bahwa Kerahiman Tuhan hanya terlukis dalam kebahagiaan. Mereka lalu lupa bahwa ternyata Kerahiman Tuhan juga ada dalam penderitaan sehingga ketika Yesus menjelaskan tentang penderitaan-Nya para murid tidak mengerti lagi maknanya (Luk 18:31-34). Ketika berhadapan dengan penderitaan, mata mereka tertutup terhadap Kerahiman Tuhan yang juga hadir di sana.
            Kita pun juga demikian. Di tengah arus penderitaan yang sedang mengalir deras, mata kita buta terhadap Kerahiman Ilahi yang tumbuh di sana. Wajah kita begitu sumringah ketika Kerahiman Allah muncul dalam nama kebahagiaan, kesuksesan, kegembiraan, kebaikan. Tetapi sebaliknya, wajah kita menjadi 100% muram ketika penderitaan itu muncul dan kita tidak mampu melihat Kerahiman Allah yang sedang hadir. Kita lalu men-judge Allah sebagai Allah yang jahat, dan menganggap Allah tidak ada (Nietzche).
            Inilah pespektif baru yang hendak ditawarkan oleh penginjil Lukas yang mengundang kita untuk berani masuk dalam situasi penderitaan dan menemukan Wajah Kerahiman Illahi.
            Mengutip Ayub yang menjawab istrinya, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb 2:10). Marilah kita minta Tuhan untuk membuka mata kita melihat undangan Kerahiman Illahi bahwa “Allah mengerti, Allah peduli setiap persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah dibiarkan-Nya, karna Allah itu peduli.

Mario F. Cole. Putra, CMF

Buku Bacaan:
1. Tom Jacob, SJ, Lukas: Pelukis Hidup Yesus, Yogyakarta, Kanisius, 2006.
2. William Barclay, The Daily Study Bible: The Gospel of Luke, Bangalore, Theological Publications in India, 1975.

No comments:

Post a Comment