Selamat Datang

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Tuesday, September 24, 2019

GEREJA : TUGAS DAN MISI DI DUNIA

Tugas Gereja adalah 
melanjutkan karya Kristus sendiri yang datang ke dunia untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran, untuk menyelamatkan dan bukan untuk menghakimi, untuk melayani dan bukan dilayani (GS art 3). 

Misi dan perang Gereja di dunia adalah 
mewartakan Kerajaan Allah kepada seluruh umat manusia. Dengan melalui berbagai cara Gereja menghadirkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah masyarakat. Kerajaan Allah sebagaimana yang diwartakan dan diperjuangkan oleh Yesus memang baru akan terwujud secara sempurna pada akhir jaman. Namun Kerajaan Allah itu sudah mulai mendatangi manusia dan ada diantara kita. 
Dalam Injil tersirat kesadaran bahwa misi atau tugas Gereja pertama-tama bukan “penyebaran agama”, melainkan Kabar Gembira (Kerajaan Allah) yang relevan dan mengena pada situasi konkret manusia dalam dunia yang majemuk ini. 
Menjadi pelayan Kerajaan Allah berarti 
berusaha dengan segala macam cara ke arah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah masyarakat, misalnya 
  • persaudaraan, 
  • kerjasama, 
  • dialog, 
  • solidaritas, 
  • keterbukaan, 
  • keadilan, 
  • hormat kepada hidup, 
  • memperhatikan yang lemah, miskin, tertindas, tersingkirkan, dsb. 
Bagi Gereja, mewartakan Injil berarti membawa Kabar Gembira ke segenap lapisan umat manusia, sehingga berkat dayanya kabar tersebut masuk ke dalam lubuk hati manusia dan membaharui umat manusia dari dalam. 
“Lihatlah Aku memperbaharui seluruh ciptaan” (EN 18).

Berikut disebutkan beberapa hal pokok seperti yang disarankan oleh Gaudium et Spes yang harus menjadi perhatian Gereja masa kini, yakni :
1. Martabat Manusia
Manusia dewasa ini berada di jalan menuju pengembangan kepribadiannya yang lebih penuh dan menuju penemuan serta penebusan hak-haknya yang makin hari makin bertambah. 
Untuk itu Gereja dapat berperan antara lain :
 
a. Membebaskan martabat kodrat mausia dari segala perubahan paham, misalnya terlalu menekankan dan mendewasakan tubuh manusia atau sebaliknya.
 
b. Menolak dengan tegas segala macam perbudakan dan pemerkosaan martabat dan pribadi manusia
 
c. Menempatkan dan memperjuangkan martabat manusia sesuai dengan maksud Penciptanya.  
2. Peran Gereja dalam Masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat, Gereja dapat berperan antara lain sebagai berikut :
a. Membangkitkan karya-karya yang melayani semua orang, terutama yang miskin, seperti karya-karya amal, dsb.
 
b. Mendorong semua usaha ke arah persatuan, sosialisasi, dan persekutuan yang sehat di bidang kewargaan dan ekonomi.
 
c. Karena universalitasnya, Gereja dapat menjadi pengantara yang baik antara masyarakat dan negara-negara yang berbeda-beda hidup budaya dan politik.


3. Usaha dan Karya Manusia
a. Gereja akan tetap meyakinkan putra-putrinya dan dunia bahwa semua usaha manusia, betapapun kecilnya bila sesuai dengan kehendak Tuhan mempunyai nilai yang sangat tinggi, karena merupakan sumbangan pada pelaksanaan rencana Tuhan.
b. Gereja akan tetap bersikap positif dan mendorong setiap kemajuan ilmiah dan teknik di dunia ini asal tidak menghalangi melainkan secara positif mengusahakan tercapainya tujuan akhir manusia.
c. Akhirnya, Konsili Vatikan II mencatat masalah-masalah yang dilihatnya sebagai masalah yang mendesak, yakni martabat pernikahan dan kehidupan keluarga, pengembangan kemajuan kebudayaan, kehidupan sosial ekonomi dan politik serta perdamaian dan persatuan bangsa-bangsa.


3. Hubungan antara Gereja dan Dunia

Menyangkut hubungan antara gereja dan dunia dapat diangkat satu dua hal berikut ini :
a. Gereja setelah Konsili Vatikan II (Gereja postkonsilier) melihat dirinya sebagai “Sakramen Keselamatan” bagi dunia. Gereja menjadi terang, garam, dan ragi bagi dunia. Dunia menjadi tempat atau lading. Dimana Gereja berbakti. Dunia tidak dihina dan dijauhi, tetapi didatangi dan ditawari keselamatan.
 
b. Gereja dijadikan Mitra Dialog. Gereja dapat menawarkan nilai-nilai injili dan dunia dapat mengembangkan kebudayaannya, adat istiadat, alam pikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga Gereja dapat lebih efektif menjalankan misinya di dunia.
 
c. Gereja tetap menghormati otonomi dunia dengan sifatya yang sekuler, karena didalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat mensejahterakan manusia dan membangun sendi-sendi Kerajaan Allah.



Sebenarnya, Gereja dan dunia manusia merupakan realitas yang sama, seperti mata uang yang ada dua sisinya. Berbicara tentang Gereja berarti berbicara tentang dunia manusia. Bagi seorang Kristen berbicara tentang dunia manusia berarti berbicara tentang Gereja sebagai umat Allah yang sedang berziarah didunia ini.

MASALAH DUNIA

Permasalahan yang Dihadapi Dunia
Persoalan dunia, dapat kita petakan lewat beberapa peristiwa yang dihadapi, yang dapat menjadi gambaran bagaimana persoalan dunia itu sebenarnya.

1. Perang
Dewasa ini masih banyak kawasan yang dilanda peperangan, tidak ketinggalan Indonesia, masih sering terjadi bentrokan, perang suku, perang antar kelompok. Yang menjadi pemicunya seringkali ambisi kekuasaan, ada kecenderungan hasrat manusia ingin berkuasa dan menguasai manusia yang lain, yang tentunya hal ini menjadi permasalahan serius, karena manusia tidak lagi menyadari bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk hidup bersama dalam kebersamaan, kedamaian, saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain.

2. Kemiskinan
Kemiskinan sering dipahami sebagai kondisi kehidupan manusia yang tidak layak atau tidak memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, seperti sandang, pangan dan papan, namun sesungguhnya kemiskinan dapat juga dipahami secara sosial ekonomi, dan mental. oleh karena itu, kenyataan adanya kebodohan dan keterbelakangan sering juga dikategorikan sebagai kemiskinan. Penyebab kemiskinan tersebut dapat secara eksternal (struktura) ataupun personal (mental). Sistem kehidupan yang didasarkan pada prisip kapitalisme akan menciptakan struktur masyarakat di mana yang kaya semakin kaya dan miskin semakin terpuruk. Akibatnya terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.

3. Ketidakadilan Sosial
Salah satu tuntutan kodrat masunia adalah diperlakukan secara adil. Artinya setiap pribadi manusia mempunyai hak atas hidupnya yang perlu dihargai dan dihormati oleh orang lain. Banyak peristiwa yang diketegorikan sebagai ketidakadilan, misalnya perampasan yang seringkali mengatasnamakan kepentingan rakyat. Persoalan dasar ketidakadilan adalah bahwa manusia tidak menyadari status kesederajatannya di hadapan Sang Pencipta sehingga manusia sulit memandang sesamanya sebagai pribadi yang perlu dihormati dan dihargai.

4. Perusakan Lingkungan
Isu tetang pemanasan global, menyadarkan kita bahwa bumi ini sudah semakin tua dan tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan menjanjikan kesejahteraan hidup bagi manusia. Banyak bencana alam yang sudah terjadi, seperti banjir, tanah longsor, dll. Di samping perubahan ekosistem juga karena perbuatan manusia yang tidak bertanggungjawab, perilaku yang tidak menghargi lingkungan yang mengancam kelestarian alam.

5. Perkembangan IPTEK
Di samping persoalan-persoalan di atas, yang juga perlu disadari adalam perkembangan dunia yang begitu pesat terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kemajuan dan perkembanan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya juga menpunyai dampak positif bagi kehidupan manusia dan dampak negatif.

KEPEMIMPINAN: CORAK GEREJA

  • Kepemimpinan dalam Gereja merupakan suatu panggilan khusus, dimana campur tangan Tuhan merupakan unsur yang dominan. Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam Gereja tidak diangkat oleh manusia berdasarkan suatu bakat, kecakapan atau prestasi tertentu. Kepemimpinan dalam Gereja tidak diperoleh oleh kekuatan manusia sendiri. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Kepemimpinan dalam masyarakat dapat diperjuangkan oleh manusia, tetapi di dalam Gereja tidaklah demikian. 
 
  • Kepemimpinan dalam Gereja bersifat mengabdi dan melayani dalam arti semurni-murninya, walaupun ia sungguh mempunyai wewenang yang berasal dari Kristus sendiri. Kepemimpinan gerejani adalah kepemimpinan untuk melayani, bukan untuk dilayani. Kepemimpinan untuk menjadi orang yang terakhir, bukan yang pertama. Kepemimpinan untuk mencuci kaki sesama saudara. Ia adalah pelayan (Paus dikatakan : Servus Servorum Dei = Hamba dari hamba-hamba Allah). Kepemimpinan dalam masyarakat diangkat untuk memerintah dalam arti yang sesungguhnya. Ia memiliki kedudukan yang “pertama”. Kepemimpinan dalam masyarakat merupakan suatu “pangkat”, tidaklah demikian dalam Gereja 
 
  • Kepemimpinan hierarki berasal dari Tuhan, maka tidak dapat dihapus oleh manusia. Kepemimpinan masyarakat dapat diturunkan oleh manusia karena ia memang diangkat dan diteguhkan oleh manusia.

AWAM : PENGERTIAN

Kaum awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja (lih. LG 31). 

Definisi awam dalam praktek dan dalam dokumen-dokumen Gereja ternyata mempunyai 2 macam:  

Definisi teologis
Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Jadi, awam meliputi biarawan/wati seperti suster dan bruder yang tidak menerima tahbisan suci.  

Definisi tipologis
Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan/wati. 
Maka dari itu awam tidak mencakup para suster dan bruder 


Definisi ini dikutip dari Lumen Gentium yang rupanya menggunakan definisi tipologis. 

Dan untuk selanjutnya istilah “awam” yang digunakan adalah sesuai dengan pengertian tipologis.

AWAM - HIERARKI : HUBUNGAN

Mengenai hubungan antara awam dan hiraki, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
 
1) Gereja sebagai Umat Allah
Keyakinan bahwa semua anggota warga Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda fungsi dapat menjamin hubungan yang wajar antara semua komponen Gereja. 
Tidak boleh ada klaim bahwa komponen-komponen tertentu lebih bermartabat dalam Gereja Kristus dan menyepelekan komponen yang lainnya. 
Keyakinan ini harus diimplementasikan secara konsekuen daam hidup dan karya semua anggota Gereja.  

2) Setiap Komponen Gereja memiliki Fungsi yang khas
Setiap komponen Gereja memiliki fungsi yang khas. 
Hirarki yang bertugas memimpin (melayani) dan mempersatukan Umat Allah. Biarawan/wati dengan kaul-kaulnya mengarahkan Umat Allah pada dunia yang akan dating (eskatologis). 
Para awam bertugas merasul dalam tata dunia. Mereka menjadi rasul dalam keluarga-keluarga dan dalam masyarakat di bidang ipoleksosobudhamkamnas. 
Jika setiap komponen gereja menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik, maka adanya kerja sama yang baik pasti terjamin.
 
3) Kerja sama
Walaupun tiap komponen memiliki fungsinya masing-masing, namun untuk bidang-bidang tertentu, terlebih dalam kerasulan internal yaitu membangun hidup menggereja, masih dibutuhkan partisipasi dan kerja sama dari semua komponen.
Dalam hal ini hendaknya hirarki tampil sebagai pelayan yang memimpin dan mempersatukan. Pimpinan tertahbis, yaitu dewan diakon, dewan presbyter, dan dewan uskup tidak berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan mereka, melainkan untuk menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi pelayanan (charisma) yang ada.
Hirarki berperan untuk memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian banyak tugas pelayanan. 
Para pemimpin tertahbis memperhatikan serta memelihara keseluruhan visi, misi, dan reksa pastoral. 
Karena itu, tidak mengherankan bahwa di antara mereka termasuk dalam dewan hirarki ini ada yang bertanggungjawab untuk memelihara ajaran yang benar dan memimpin perayaan sakramen-sakramen.

HIERARKI : STRUKTUR

Struktur Hierarkis Gereja yang sekarang terdiri dari dewan para Uskup dengan Paus sebagai kepalanya, dan para imam serta diakon sebagai pembantu uskup

1. Para Rasul
Sejarah awal perkembangan Hierarki adalah kelompok keduabelas rasul. Inilah kelompok yang sudah terbentuk waktu Yesus masih hidup. Seperti Paulus juga menyebutnya kelompok itu " mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku" (Gal 1:17). Demikian juga Paulus pun seorang rasul, sebagaimana dalam Kitab Suci (1Kor 9:1, 15:9, dsb) Pada akhir perkembangannya ada struktur dari Gereja St. Ignatius dari Antiokhia, yang mengenal "penilik" (Episkopos), "penatua" (presbyteros), dan "pelayan" (diakonos). Struktur ini kemudian menjadi struktur Hierarkis yang terdiri dari uskup, imam dan diakon.


2. Dewan Para Uskup
Pada akhir zaman Gereja perdana, sudah diterima cukup umum bahwa para uskup adalah pengganti para rasul, seperti juga dinyatakan dalam Konsili Vatikan II (LG 20). Tetapi hal itu tidak berarti bahwa hanya ada dua belas uskup (karena duabelas rasul). Disini dimaksud bukan rasul satu persatu diganti oleh orang lain, tetapi kalangan para rasul sebagai pemimpin Gereja diganti oleh kalangan para uskup. hal tersebut juga di pertegas dalam Konsili Vatikan II (LG 20 dan LG 22). Tegasnya, dewan para uskup menggantikan dewan para rasul. Yang menjadi pimpinan Gereja adalah dewan para uskup. Seseorang diterima menjadi uskup karena diterima kedalam dewan itu. itulah Tahbisan uskup, "Seorang menjadi anggota dewan para uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan berdasarkan persekutuan hierarkis dengan kepada maupun para anggota dewan" (LG 22). Sebagai sifat kolegial ini, tahbisan uskup belalu dilakukan oleh paling sedikit tiga uskup, sebab tahbisan uskup berarti bahwa seorang anggota baru diterima kedalam dewan para uskup (LG 21).

3. Paus
Kristus mengangkat Petrus menjadi ketua para rasul lainnya untuk menggembalakan umat-Nya. Paus, pengganti Petrus adalah pemimpin para uskup. Menurut kesaksian tradisi, Petrus adalah uskup Roma pertama. Karena itu Roma selalu dipandang sebagai pusat dan pedoman seluruh Gereja. Maka menurut keyakinan tradisi, uskup roma itu pengganti petrus, bukan hanya sebagai uskup lokal melainkan terutama dalam fungsinya sebagai ketua dewan pimpinan Gereja. Paus adalah uskup Roma, dan sebagai uskup Roma ia adalah pengganti Petrus dengan tugas dan kuasa yang serupa dengan Petrus. hal ini dapat kita lihat dalam sabda Yesus sendiri : "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat 16:17-19).

4. Uskup
Paus adalah juga seorang uskup. kekhususannya sebagai Paus, bahwa dia ketua dewan para uskup. Tugas pokok uskup ditempatnya sendiri dan Paus bagi seluruh Gereja adalah pemersatu. Tugas hierarki yang pertama dan utama adalah mempersatukan dan mempertemukan umat.Tugas itu boleh disebut tugas kepemimpinan, dan para uskup "dalam arti sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka bimbing" (LG 27). Tugas pemersatu dibagi menjadi tiga tugas khusus menurut tiga bidang kehidupan Gereja. Komunikasi iman Gereja terjadi dalam pewartaan, perayaan dan pelayanan. Maka dalam tiga bidang itu para uskup, dan Paus untuk seluruh Gereja, menjalankan tugas kepemimpinannya. "Diantara tugas-tugas utama para uskup pewartaan Injilah yang terpenting" (LG 25). Dalam ketiga bidang kehidupan Gereja uskup bertindak sebagai pemersatu, yang mempertemukan orang dalam komunikasi iman.

 

5. Imam
Pada zaman dahulu, sebuah keuskupan tidak lebih besar daripada sekarang yang disebut paroki. Seorang uskup dapat disebut "pastor kepala" pada zaman itu. dan imam-imam "pastor pembantu", lama kelamaan pastor pembantu mendapat daerahnya sendiri, khususnya di pedesaan. Makin lama daerah-daerah keuskupan makin besar. Dengan Demikian, para uskup semakin diserap oleh tugas oraganisasi dan administrasi. Tetapi itu sebetulnya tidak menyangkut tugasnya sendiri sebagai uskup, melainkan cara melaksanakannya. sehingga uskup sebagai pemimpin Gereja lokal, jarang kelihatan ditengah-tengah umat. melihat perkembangan demikian, para imam menjadi wakil uskup. "Di masing-masing jemaat setempat dalam arti tertentu mereka menghadirkan uskup. Para imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pembantu arif bagi badan para uskup, sebagai penolong dan organ mereka" (LG 28). Tugas konkret mereka sama seperti uskup: "Mereka ditahbiskan untuk mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi"

 

6. Diakon
"Pada tingkat hiererki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan 'bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan'" (LG29). Mereka pembantu uskup tetapi tidak mewakilinya. Para uskup mempunyai 2 macam pembantu, yaitu pembantu umum (disebut imam) dan pembantu khusus (disebut diakon).

KERASULAN DALAM GEREJA

Karena Gereja itu Umat Allah,
maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi Umat Allah.
Ia hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah itu.
Ini adalah tugas membangun gereja.
Tugas ini dapat disebut kerasulan internal.
Tugas ini pada dasarnya dipercayakan kepada golongan hirarkis (kerasulan hirarkis),
tetapi awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya.

Keterlibatan awam dalam tugas membangun gereja ini
bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan dari hirarki atau ditugaskan hirarki,
tetapi karena pembabtisan ia mendapat tugas itu dari Kristus.
Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas gereja.

1) Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang awam dapat mengajar agama, sebagai katekis, memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb

2) Dalam tugas imamiah (menguduskan), seorang awam dapat
Memimpin doa dalam pertemuan umat, Memimpin koor atau nyanyian dalam ibadah, Membagi komuni sebagi prodiakon, Menjadi pelayan putra Altar, dsb

3) Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang awam dapat:
Menjadi angota dewan paroki, Menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau wilayah, dsb

PERKAWINAN KATOLIK : SYARAT UNTUK SAHNYA


Bebas dari Halangan-halangan Kanonik

Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:

(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)

Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk pria dan 17 tahun untuk wanita.


(2) Impotensi (Kan. 1084)

Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita. Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.


(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)

Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan (unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”


(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)

Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.

Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio) maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.


(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)

Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci”.


(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)

Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)


(7) Penculikan (Kan. 1089)

Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.

 
(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090)

Ini disebut halangan kriminal conjungicide.

(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)

Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.

Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4 inklusif.

 
(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)

Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).

Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1], b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak dan anak tiri perempuan.


(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)

Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah, termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan. 1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.


(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)

Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”

PERKAWINAN KATOLIK : PAHAM DASAR GEREJA

“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentu antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.” (Kan. 1055 $ 1)

a. Perjanjian Perkawinan
 

Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). 
Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. 
Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. 
 Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
 
b. Kebersamaan Seluruh Hidup

Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”, con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib.
Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya).
Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan. Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji Perkawinan).

c. Antara Pria dan Wanita

Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).

d. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Kesejahteraan Suami-Istri (Bonum Coniugum)

Selain tiga “bona” (bonum = kebaikan) perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni
(a) bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan kepada kelahiran dan pendidikan anak,
(b) bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat kesetiaan dalam perkawinan, dan
(c) bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah lagi satu “bonum” yang lain, yakni bonum coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).

e. Sifat Kodrati Keterarahan kepada Anak

Perkawinan terbuka terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum)

PERKAWINAN : SAKRAMEN

Perkawinan Kristiani bersifat sakramental. 
Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
Sakramen artinya tanda. 

Perkawinan sebagai sakramen artinya perkawinan sebagai tanda;
 
1. Tanda Cinta Allah  
Dalam sakramen perkawinan, suami adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang istri dan istri menjadi tanda cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. 
Mereka dipilih untuk menjadi utusan atau tangan Tuhan. 
Melalui suami istri Tuhan hadir menolong, menguatkan dan membahagiaakan pasangannya. 
Suami istri melakukan dan mengikrarkan janji dihadapan Tuhan dan umat beriman, itulah yang akan mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka saling menyempurnakan atau saling menguduskan sebagai anak Allah. 
2. Tanda Cinta Kristus kepada GerejaNya  
Perkawinan Kriatiani menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia dari hubungan cinta yang mulia yaitu persatuan hidup Kristus dengan umatNya. 
Santo Paulus berkata, 
“Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya untuk mengu-duskannya.. .”
 
Jadi dapatlah kita menarik kesimpulan: 
cinta kasih suami istri di dukung oleh kesatuan Gereja, tetapi kesatuan yang berlangsung dalam perkawinan Kristiani.

PERKAWINAN : SIFAT HAKIKI

Kanon 1056 mengatakan:
“Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.”
 
Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terputuskannya ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik.
 
Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. 

Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.  
a. Monogami
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri. 
b. Sifat tak-terputuskannya Ikatan Perkawinan
Ikatan perkawinan berlaku seumur hidup karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini. 
c. Implikasi
Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah, tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus perkawinan (Kan. 1099).
Barangsiapa menjanjikan kesetiaan tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu menjadi tidak sah. Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada perkawinan sebelumnya.
Itulah salah satu kesulitan umat Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun diceraikan.
 

Dasar
Dalam Kitab Suci : 
misalnya 
  • Mrk 10:2-12; 
  • Mat 5: 31-32; 19:2-12; 
  • Luk 16:18

Ajaran Gereja : 
  • Konsili Trente (DS 1807); 
  • Konsili Vatikan II (GS 48), 
  • Familiaris Consortio 20; 
  • Katekismus Gereja Katolik 1644-1645

Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka argumen untuk mendukung sifat tak terputusnya perkawinan, misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa reserve, kesejahteraan suami istri, terutama istri dan anak-anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa kekecualian.


e. Tingkat kekukuhan
  1. Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik secara intrinsik (oleh suami istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu sendiri.
  2. Perkawinan putativum (putatif): perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik sekurang-kurangnya oleh satu pihak (Kan 1061, $ 1). Secara hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan ketakterceraian sama sekali.
  3. Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis. Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan Previlegium Paulinum *karena suatu alasan yang berat.
  4. Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang non-baptis. Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah satu pasangan belum atau tidak dibaptis. Perkawinan inipun dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan Previlegium Petrinum (Previlegi Iman)**, walaupun telah memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.
  5. Perkawinan ratum (et non consumatum): perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan dengan persetubuhan (Kan 1061, $1). Tingkat kekukuhan perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat, masih dapat diputus oleh Paus.
  6. Perkawinan ratum et consumatum: perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan dengan persetubuhan.

NILAI DUNIAWI DAN NILAI KERAJAAN ALLAH

1. Uang/Harta dan Kerajaan Allah
 
Uang, harta, dan kekayaan pasti mempunyai nilai, maka kita harus berusaha untuk memilikinya. Namun, kita yang harus menguasai harta, bukan harta yang menguasai kita. Uang, harta, dan kekayaan tidak boleh dimutlakkan, sehingga menghalangi kita untuk mencapai nilai-nilai yang lebih luhur, yakni Kerajaan Allah. 
Jika kita hanya terobsesi dan bernafsu untuk mengutamakan kekayaan, maka kita sudah mendewakan harta.
 
  • Nafsu (ambisi) untuk mengumpulkan uang atau kekayaan agaknya berten­tangan dengan usaha mencari Kerajaan Allah. 
  • Betapa sulitnya orang kaya masuk dalam Kerajaan Allah, seperti halnya seekor unta masuk ke dalam lubang jarum (bdk. Mrk 10: 25). 
  • Maksudnya, Yesus mendorong agar orang tidak terbelenggu uang/harta dan kekayaan. Yesus mendorong agar orang kaya memiliki semangat solidaritas terhadap orang miskin dan menderita clan suka membatu mereka dengan kekayaannya.
 
Yang dituntut oleh Yesus bukan hanya sekedar derma, melainkan usaha nyata dari orang kaya untuk membebaskan orang dari kemiskinan dan penderitaan.


2. Kekuasaan dan Kerajaan Allah
 
Kekuasaan itu sangat bernilai. 
Namun, orang tidak boleh memutlakkannya sehingga usaha kita membangun Kerajaan Allah terhalang. 
Ada dua cara yang sangat berbeda dalam mengerti dan melaksanakan kekuasaan. 
Yang satu adalah penguasaan, yang lain adalah pelayanan. 
 
Kekuasaan dalam Kerajaan Allah tidak mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.
 
Kebanyakan pemimpin Yahudi (imam-imam kepala, tua-tua, ahli kitab, dan orang Farisi) kebanyakan adalah penindas. Kekuasaan sering membuat mereka menguasai dan menindas orang lain (terlebih yang lemah) dengan memanipulasi hukum taurat.
 
Yesus tidak menentang hukum Taurat sebagai hukum. Tetapi, Yesus menentang cara orang menggunakan hukum dan sikap mereka terhadap hukum. 
Para ahli kitab dan orang-orang farisi telah menjadikan hukum sebagai beban, padahal seharusnya merupakan pelayanan (bdk. Mat 23:4; Mrk 2:27). 
 
Yesus juga menolak setiap hukum dan penafsiran yang digunakan untuk menindas orang. 
 
Menurut Yesus, hukum harus berciri pelayanan, belas kasih, clan cinta. 
 
Dalam Kerajaan Allah, kekuasaan, wewenang, dan hukum melulu fungsional.


3. Kehormatan/gengsi dan Kerajaan Allah
 
Kehormatan atau gengsi adalah nilai yang sangat dipertahankan orang. 
 
Gengsi dan kedudukan sering dianggap lebih penting daripada segala sesuatu. 
 
Orang akan memilih bunuh diri atau berkelahi sampai mati daripada kehilangan gengsi atau harga dirinya. 
Kedudukan dan gengsi/harga diri sering didasarkan pada keturunan, kekayaan, kekuasaan, pendidikan, dan keutamaan. 
 
Akibat adanya gengsi clan kedudukan inilah masyarakat dapat terpecah-pecah di dalam kelompok-kelompok. 
 
Ada kelompok yang memiliki status sosial tinggi dan ada kelompok yang memiliki status sosial rendah. 
 
Sebenarnya, siapa saja yang begitu lekat pada gengsi dan harga diri tidak sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang dicanangkan oleh Yesus.
 
Yesus mengatakan: 
 
“Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Surga (Allah)? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini; kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga” (Mat 18: 1-4). 
 
Anak adalah perumpamaan mengenai “kerendahan” sebagai lawan dari kebesaran, status, gengsi, dan harga diri. Ini tidak berarti bahwa hanya orang-orang dalam kel as tertentu yang akan diterima dalam Kerajaan Allah. 
 
Setiap orang dapat masuk ke dalamnya jika la man berubah dan menjadi sepenti anak kecil (Mat 18: 3;, menjadikan dirinya kecil seperti anak-anak kecil (Mat 18: 4).
 
Kerajaan yang diwartakan dan dikehendaki oleh Yesus adalah suatu masyara­kat yang tidak membeda-bedakan lebih rendah atau lebih tinggi
Setiap orang akan dicintai dan dihormati, 
bukan karena pendidikan, kekayaan, asal usul, ke­kuasaan, status, keutamaan, atau keberhasilan-keberhasilan lain, tetapi 
karena 
ia adalah pribadi yang diciptakan Allah sebagai citra-Nya.
 
4. Solidaritas dan Kerajaan Allah
 
Perbedaan pokok kerajaan dunia dan Kerajaan Allah bukan karena keduanya mempunyai bentuk solidaritas yang berbeda. 
 
Kerajaan dunia sering dilandaskan pada solidaritas kelompok yang eksklusif (suku, agama, ras, keluarga, dan sebagai­nya) dan demi kepentingan sendiri. 
Sementara, 
 
Kerajaan Allah dilandasi solidaritas yang mencakup semua umat manusia. “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesama manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5: 43-44). 
 
Dalam kutipan ini, Yesus memperluas pengertian “saudara”. Saudara tidak hanya teman, tetapi juga mencakup musuh: 
  • “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah untuk orang yang mencdci kamu” (Luk 6: 27-28). 
  • “Dan jika kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka” (Luk 6: 32). 
 
Solidaritas kelompok (mengasihi orang yang mengasihi kamu) bukanlah solidaritas menurut Yesus. 
 
Solidaritas yang dikehendaki oleh Yesus adalah 
soli­daritas terhadap semua orang 
tanpa memandang bulu, 
termasuk juga musuh.