Kata
Yunani ‘salib’ adalah σταυρος (baca: stauros), dari kata kerja "σταυροω
(baca: stauroô). Sedangkan dalam bahasa Latin 'crux', 'crucifigo'. Kata
itu mempunyai dua arti, yakni pertama, kayu balok yang didirikan
tegak; dan kedua, kayu balok yang digunakan sebagai alat untuk menghukum
mati seseorang. Dalam arti terakhir inilah Perjanjian Baru menggunakan
salib.
Istilah
‘salib’ juga ada dalam bahasa Arab yaitu s l b atau al salib (=kayu
palang atau silang). Meskipun demikian, salib sudah ada dalam kebudayaan
pra-Kristen dan non-Kristen. Salib merupakan lambang universal dan
dasariah. Sumber-sumber pengetahuan masa lalu menunjukkan, tanda salib
sudah lazim di Mesir, Kreta, Mesopotamia, India dan Cina.
Menurut
Sejarawan Roma, Herodotus, hukuman salib berasal dari Babilonia dan
melalui Persia dan Fenesia diterima oleh hukum Romawi. Dari sinilah
tradisi hukuman salib diterapkan di Kekaisaran Romawi untuk menghukum
para budak, penduduk setempat, dan penjahat kelas rendah demi menjaga
stabilitas dan keamanan. Flavius Yosephus melaporkan adanya banyak
penyaliban di Roma menghabiskan banyak kayu untuk penyaliban. Penyaliban
merupakan bentuk eksekusi yang paling kejam, keras dan buruk di antara
tiga hukuman di Romawi, yaitu dibakar, dipenggal kepala, dan
disalibkan.
Mengapa
Yesus dihukum mati disalib? Ada 3 versi alasannya: pertama, Versi
Romawi: Yesus dihukum mati karena ia dianggap pemberontak, pengacau
masyarakat saat Yesus mengusir orang-orang di bait Allah (Yoh 2:13-24).
Kedua, Versi Yahudi: Yesus dihukum mati karena Yesus dituduh menghojat
Allah (Mrk 14:62-64) dan sebagai nabi palsu (melawan hukum Sabat : Luk
6:1-11). Ketiga, Versi Kristiani: Yesus wafat dibunuh karena dosa-dosa
kita atau demi keselamatan kita (1 Kor 15:3).
Ada 6 makna
salib, yakni: Salib sebagai lambang kehidupan, salib pohon kehidupan,
salib merupakan misteri kosmik, salib adalah tiang agung kapal, salib
adalah tanda antropologis dan salib adalah bukti kekuatan. Santo
Ambrosius dari Hipolitus dalam katekesenya memuji mereka yang “terikat”
atau setia memikul salib. Sebab kendati menghadapi keganasan dan
gelombang rayuan dunia, toh mereka akhirnya sampai ke pelahuhan abadi.
Gereja adalah kapal dan salib Kristuslah Tiang Agung-nya. Terikat pada
salib menjadi syarat mutlak untuk mencapai keselamatan. “Setiap orang
yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya
dan mengikuti Aku” (Mat 16:24; Mrk 8:34; Luk 9:23; bdk. Mat 10:38; Luk
14:27).
Perihal
kebiasaan menandai diri dengan salib rupanya tertera pula dalam dokumen
kuno, “Bila saudara tergoda, tandailah dirimu dengan salib, sebab inilah
tanda sengsara yang terkenal kekuatannya melawan setan, bila dilakukan
dengan iman ... iman sempurna terhadap Sang Anak Domba” (Traditio
Apostolica 42). Tanda salib menjadi cara yang paling ampuh untuk
menjauhkan diri dari setan dan godaan-godaannya. Karena itu bagi orang
Katolik “tanda salib” memberikan kekuatan dan berkat Allah dalam
kehidupan umat beriman hingga sekarang.
Dalam
pandangan publik, salib memang mengerikan, memalukan, bahkan
menjijikkan. Namun dengan sengsara dan wafat Yesus, salib memperoleh
cahaya dan arti baru. Salib mengandung simbolisme yang patut dipahami
dan dihayati oleh setiap umat Kristiani. Sejak abad kedua para
antropolog gencar memperkenalkan salib bukan sebagai alat hukuman yang
mematikan, namun sebagai alat yang “menyembuhkan” alam raya dan
“menyelamatkan” manusia.
No comments:
Post a Comment