Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman, baik suku, agama, ras maupun antar golongan. Keragaman ini merupakan kekayaan yang menjadi kebanggaan. Akan tetapi, keragaman ini justru sering menjadi masalah. Nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang menjadi dasar dan kekuatan bangsa telah terkikis oleh egoisme dan fanatisme sempit. Hal inilah yang sering menimbulkan kerusuhan-kerusuhan yang bernuansa suku dan agama.
1.
Keprihatinan
Hidup Berbangsa dan Bernegara
Dalam
sidang agung Gereja Katolik Indonesia di Bogor pada 16 – 20 November 2005,
terungkap realitas bangsa Indonesia, yang menjadi keprihatinan bersama. Secara
ringkas ada 17 pokok masalah:
a) Keretakan
hidup berbangsa dan formalisme agama
b) Otonomi
daerah dan masyarakat adat
c) Korupsi
(masalah budaya)
d) Korupsi
(masalah lemahnya mekanisme kontrol)
e) Kemiskinan
f) Pengangguran
g) Kriminalitas/premanisme
h) Perburuhan
i) Pertanian
j) Lingkungan
hidup (berkaitan dengan hutan)
k) Lingkungan
hidup (berkaitan dengan non hutan)
l) Pendidikan
formal: dasar – menengah
m) Pendidikan
formal: pendidikan tinggi
n) Pendidikan
non formal: pendidikan (dalam) keluarga
o) Pendidikan
non formal: kaum muda (termasuk masalah narkoba)
p) Kesehatan
q) Kekerasan
dalam rumah tangga dan kesetaraan gender
Ketujuh belas keprihatinan
ini dilihat sebagai ketidakadaban publik, dan disadari bahwa Gereja terlibat
juga di dalamnya. Gereja di sini harus dipahami sebagai Umat Allah (Lumen Gentium no. 9). Hal ini
menunjukkan bahwa Gereja belum memperlihatkan komitmen jelas untuk
mengembangkan kehidupan yang lebih baik, sebagaimana diteladankan oleh Tuhan
Yesus. Dengan kata lain, Gereja masih dikuasai habitus lama.
Habitus lama bisa
digambarkan sebagai berikut: keadaan dimana tidak membiasakan diri untuk
membaca realitas sosial secara kritis, memecahkan persoalan secara serampangan
karena cari aman, bermental instan, cari enak dan selamat; merasa tak berdaya
karena minoritas, terjebak pada pemisahan rohani – profan; dan lebih banyak
mengkritik daripada berbuat, sombong serta lebih banyak berjuang untuk kelompok
(suku, agama, ras).
2. Perjuangan Gereja
Mengupayakan Perdamaian dan Persatuan Bangsa
Keprihatinan bangsa di atas,
meski ada yang bukan disebabkan oleh umat, menjadi keprihatinan umat katolik
juga. Ini didasarkan oleh bunyi ajaran Gereja: Kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar adalah
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus (Gaudium et Spes no. 1).
Keprihatinan-keprihatinan
tersebut tentulah berdampak pada terciptanya ketidakdamaian dalam masyarakat
serta terancamnya kesatuan bangsa. Oleh karena itu, umat katolik terpanggil
untuk berjuang mengatasi keprihatinan itu.
Ada dua gerakan utama yang
dapat dilakukan, yaitu pertobatan
dan membangun habitus baru. Yang dimaksud
dengan habitus baru seperti: melibatkan diri dalam kegiatan positif masyarakat,
setia pada proses atau tidak menggunakan cara-cara pintas, tekun, militan,
bersikap terbuka terhadap semua kelompok yang berkehendak baik, memberi
keteladanan, mewartakan nilai Kerajaan Allah, memperjuangkan kesalehan sosial,
bukan hanya pribadi saja.
Bertobat bukan hanya berarti
perubahan hidup dari buruk menjadi baik, tetapi harus dimengerti secara
radikal, yaitu perubahan dari yang baik menjadi lebih baik. Ini sesuai dengan
tuntutan Tuhan Yesus (Mat 5: 1 – 48). Berkaitan dengan hal ini, umat katolik
harus memiliki “semangat magis”, yaitu
semangat dalam diri orang yang menandakan bahwa orang itu menginginkan yang
terbaik dalam segala hal. Namun semangat ini tidak lantas membuat orang suka
membandingkan dirinya dengan orang lain, memamerkan kehebatannya atau
meremehkan orang lain.
Orang dengan semangat magis
ditantang untuk terus mengusahakan yang terbaik. Ia tidak mudah putus asa bila
gagal, karena ia akan belajar dari setiap kegagalan untuk mencapai
keberhasilan.
3.
Umat Katolik Mewujudkan Perdamaian dan
Persatuan Bangsa
Perdamaian dan persatuan
bangsa adalah kondisi kehidupan yang selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah,
sebagaimana dicita-citakan Tuhan Yesus. Kerajaan Allah secara sederhana dapat
dimengerti sebagai suasana kehidupan yang didambakan orang yang berkehendak
baik, berdasarkan kuasa dan kehendak Allah, yang ditandai dengan keadilan, rasa
aman, perdamaian, persatuan dan persaudaraan, kesejahteraan, dll.
Kerajaan Allah merupakan
proyek Allah bagi keselamatan umat manusia. Di dalamnya beberapa aspek:
(a) Eskatologis: pemenuhan
secara definitif harapan Israel.
(b) Revelatoris:
mengungkapkan tentang siapa Allah itu
(c) Soteriologis:
keselamatan universal, yang akan terlaksana jika manusia menjalin relasi
pribadi dengan Allah
(d) Kristologis:
tampak secara definitif dalam sabda dan tindakan Yesus, dan dalam relasi
dengan-Nya
Tugas mewartakan dan
mewujudkan Kerajaan Allah kini menjadi tugas murid-murid Yesus, yaitu Gereja. Setiap
anggota Gereja terpanggil untuk berpartisipasi dalam keprihatinan Tuhan Yesus,
baik dalam kebersamaan maupun secara pribadi. Upaya memperjuangkan nilai-nilai
Kerajaan Allah dapat terlaksana dalam fungsi-fungsi Gereja sebagai berikut:
a. Fungsi Diakonia:
berarti ikut serta dalam melaksanakan karya karitatif melalui aneka kegiatan
amal kasih, khusus kepada mereka yang miskin, terlantar dan tersingkir. Adalah tanggung
jawab umat akan kesejahteraan sesamanya. Fungsi ini dapat terlihat dalam
tindakan bakti sosial, aksi donor darah, kolekte, dll
b. Fungsi Koinonia:
berarti ikut serta dalam persekutuan/persaudaraan sebagai anak-anak Allah.
Fungsi ini bisa menjadi sarana untuk membentuk komunitas yang berpusat dan
menampakkan kehadiran Kristus. Fungsi ini dapat terlihat dalam terlibat dalam
KBG, kelompok kategorial, aktif ke gereja, dll.
c. Fungsi Kerygma:
berarti ikut serta membawa kabar gembira bahwa Allah telah menyelamatkan dan
menebus manusia dari dosa melalui Tuhan Yesus. Fungsi ini mengajak umat untuk membaca
dan mendalami Kitab Suci, menumbuhkan semangat untuk menghayati firman Tuhan,
dan mengusahakan pengenalan semakin mendalam akan pokok iman supaya tidak mudah
goyah dan tetap setia. Fungsi ini dapat terlihat: pendalaman iman, katekese, pelajaran
agama, dll.
d. Fungsi Liturgia:
berarti ikut serta dalam perayaan ibadat resmi, salah satunya adalah ekaristi. Ibadat
merupakan sumber dan pusat hidup beriman. Di sini umat menemukan, mengakui dan
menyatakan identitas kristianinya. Fungsi ini terlihat dalam doa (pribadi atau
kelompok), devosi, ikut aktif dalam ibadat atau ekaristi, terlibat aktif dalam
tugas peribadatan.
e. Fungsi Martyria:
berarti ikut serta dalam menjadi saksi Kristus bagi dunia. Ini sesuai dengan
permintaan Yesus agar para murid-Nya menjadi garam dan terang dunia (Mat 5: 13 –
16). Fungsi ini dapat diwujudkan dalam menghayati hidup sehari-hari sebagai orang
katolik dimanapun berada.
Kelima fungsi Gereja di atas
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain. Satu fungsi
selalu memiliki serta memperlihatkan kehadiran fungsi yang lain. Dari kelima
fungsi itu, fungsi diakonia merupakan muara dari keempat fungsi Gereja lainnya.
Dengan melakukan tindakan diakonia, kita sudah memberikan kesaksian (martyria),
mewujud-nyatakan iman (kerygma), persaudaraan (koinonia) dan liturgia.
No comments:
Post a Comment