Tujuan Perkawinan
1) Kesejahteraan lahir-batin suami-istri
a) Tujuan perkawinan ialah untuk saling mensejahterakan suami dan istri
secara bersama-sama (hakikat sosial perkawinan) dan bukan kesejahteraan pribadi
salah satu pasangan. Karena ada bahaya bahwa ada pasangan yang diperalat untuk
memperoleh kesejahteraan materil. Kitab Suci berkata: “Tidaklah baik,
bahwa manusia sendiri saja. Kami hendak mengadakan seorang pendamping untuk menjadi
teman hidupnya... Lalu Allah mengambil sebuah tulang rusuk Adam dan
membentuknya menjadi seorang wanita. Maka pria akan meninggalkan ibu-bapaknya untuk
mengikat diri pada istrinya dan mereka akan menjadi satu jiwa-raganya” (Kej
2:18- 25).
b) Kitab Suci mengajarkan bahwa tujuan perkawinan ialah saling menjadikan
baik dan sempurna, saling mensejahterakan, yaitu dengan mengamalkan cinta
seluruh jiwa raga. Perkawinan adalah panggilan hidup bagi sebagian besar
umat manusia untuk mengatasi batas-batas egoisme; untuk mengalihkan perhatian
dari diri sendiri kepada sesama; dan untuk menerima tanggungjawab sosial; serta
menomorduakan kepentingan sendiri demi kepentingan kekasih dan anak-anak mereka
bersama. Seorang yang sungguh egois sebenarnya tidak sanggup menikah, karena hakikat
perkawinan adalah panggilan untuk hidup bersama.
2) Kesejahteraan lahir batin anak-anak
a) Gereja selama berabad-abad mengajar, bahwa tujuan pokok perkawinan
adalah melahirkan anak. Baru pada abad kita ini, menjelang Konsili Vatikan II,
orang mulai bertanya-tanya lagi mengenai hakikat perkawinan.
b) Apabila tujuan utama perkawinan
adalah anak, apakah ayah ibu hidup semata-mata untuk anak? Bagaimana kalau
tujuan perkawinan itu untuk mendapatkan keturunan tak dapat dipenuhi, misalnya
karena pasangan itu mandul? Kita tahu bahwa Gereja Katolik
berpandangan walaupun pasangan itu tidak subur, namun mereka tetaplah
suami-istri yang sah, dan perkawinan mereka lengkap, penuh arti dan diberkahi
Tuhan! Dalam dokumendokumen sesudah Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi
terlalu mutlak mengatakan bahwa keturunan sebagai tujuan paling pokok dan
utama.
c) Anak-anak, menurut pandangan
Gereja, adalah “anugerah perkawinan yang paling utama dan sangat membantu
kebahagiaan orangtua. Dalam tanggungjawab menyejahterakan anak terkandung pula
kewajiban untuk mendidik anak-anak. “Karena telah memberikan kehidupan kepada
anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik
anak-anak mereka dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama
dan utama anak-anak mereka (GE.3a). Pendidikan anak, menurut pendapat
Gereja, harus mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak. “Anak-anak
harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti
dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga panggilankhusus,
dan memilih status hidup; apabila mereka memilih status pernikahan, semoga
mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan
ekonomi yang mengu ntungkan mereka” (GS. 52a)
d) Pemenuhan tujuan pernikahan
tidak berhenti pada lahirnya anak, melainkan anak harus dilahirkan kembali
dalam permandian dan pendidikan kristiani, entah itu intelektual, moral,
keagamaan, hidup sakramental, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment