Selamat Datang

Selamat Datang di Blog ini bersama R. Slamet Widiantono ------**------ TUHAN MEMBERKATI -----* KASIH ITU MEMBERIKAN DIRI BAGI SESAMA -----* JANGAN LUPA BAHAGIA -----* TERUS BERPIKIR POSITIF -----* SALAM DOA -----* slammy

Friday, September 20, 2019

EKARISTI : BUKTI DARI MUKJIZAT

Gereja mencatat begitu banyak mukjizat Ekaristi yang terjadi,[10] namun mari kita melihat mukjizat yang paling terkenal, yaitu mukjizat yang terjadi di Lanciano, Italia, pada abad ke-8. Saat itu sekitar tahun 700, seorang imam Basilian pada sebuah biara di Lanciano meragukan ajaran bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Maka suatu hari, pada saat mempersembahkan Misa Kudus, saat ia selesai mengucapkan perkataan Konsekrasi, tiba-tiba hosti itu berubah menjadi sebuah lingkaran daging dan anggur itu menjadi darah. Sang imam menjadi sangat terkejut, bahwa Tuhan telah secara ajaib menjawab segala keraguannya. Sampai sekarang, potongan daging dan darah [sekarang berupa gumpalan darah kering] ditahtakan dan dapat dilihat di dalam gereja itu. Saya berkesempatan menyaksikan sendiri bukti mukjizat ini, saat saya berziarah ke Lanciano pada tahun 2000.

Mukjizat ini telah berkali-kali diperiksa, dan tidak ada tanda-tanda pemalsuan. Paus Paulus VI memperbolehkan agar diadakan penyelidikan ilmiah terhadap kedua species itu pada tahun 1970-1971, dan tahun 1981 (sertifikat pemeriksaannya ada terpajang di sana), oleh beberapa orang dokter Italia dengan menggunakan alat-alat yang canggih.[11] Mereka menyimpulkan bahwa potongan daging itu adalah benar-benar daging manusia, dan demikian juga dengan darah tersebut. Daging tersebut berasal dari irisan hati (jantung hati) manusia yang disebut myocardium, dan darahnya bertipe AB, dan mengandung segala protein yang terdapat pada darah segar manusia. Dan ajaibnya, walaupun daging dan darah tersebut telah dipajang selama 1300 tahun, terkena kontak langsung dengan udara, tanpa zat pengawet sekalipun, keduanya tetap tidak rusak secara biologis. (Silakan melihat gambar berikut ini)




Gereja Katolik, mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja, mengajarkan apa yang disebut sebagai Transubstansiasi, yaitu, pada saat selesainya diucapkan konsekrasi, substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, walaupun rupa luarnya tetap sebagai roti dan anggur. Jadi prinsipnya:

1) Saat konsekrasi, pada saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka Kristus pada saat itu sungguh-sungguh hadir secara nyata dengan Tubuh dan Darah-Nya pada species roti dan anggur itu. Itulah sebabnya kita harus dengan penuh hormat menyambutNya. Itu pulalah sebabnya kita menghormati Sakramen Maha Kudus, sebab kita percaya bahwa hosti yang telah dikonsekrasikan itu sudah bukan hosti lagi tetapi sungguh-sungguh Tubuh Kristus.


2) Oleh sebab itu dikatakan bahwa Misa Kudus adalah kurban Kristus, yang dilakukan oleh Gereja, untuk memperingati pengorbanan-Nya sesuai dengan pesan-Nya. Pada saat misa, Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi korban penebus dosa kita manusia.[12]


3) Maka setelah konsekrasi, hanya substansi roti dan anggur-nya saja yang berubah, sedangkan accidents/ penampilan luarnya tetap. Untuk mengerti konsep ini memang diperlukan pengertian filosofis, yaitu bahwa pada setiap benda, kita mengenal adanya substansi dan accidents. Misalnya, hakekat kita manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri tubuh dan jiwa, yang punya ratio dan kehendak bebas, sedangkan accidents-nya adalah warna kulit, bangsa, tinggi/ berat badan, dst. Jika kita mencampur adukkan kedua hal ini (substansi dan accidents) maka akan sulit bagi kita untuk memahami konsep Transubstansiasi ini. Sebab setelah transubsansiasi, maka yang nampak sebagai hosti sudah bukan hosti lagi, karena substansinya telah berubah menjadi Tubuh Kristus, sedangkan accidents-nya tetap sama, yaitu dalam rupa roti dan anggur.


Martin Luther (1483-1546) tidak membedakan antara substansi dan accidents, maka ia mengajarkan konsep kehadiran Yesus yang disebut sebagai Consubstantion/ Companation. Ia mengatakan bahwa setelah didoakan dengan Sabda Tuhan, maka Kristus hadir secara nyata di dalam roti dan anggur itu bersamaan dengan roti dan anggur itu sendiri. Jadi, menurut Luther, pada roti itu adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan Darah Kristus, tetapi juga tetap roti dan anggur biasa. Dalam hal ini, Luther tidak mengartikan ayat, “Inilah Tubuh-Ku” secara literal [padahal pada umumnya ia sangat mementingkan arti literal Alkitab]. Sebaliknya, ia mengartikannya secara figuratif, seolah Yesus mengatakan, “Di dalam dan bersama roti ini adalah Tubuh-Ku”. Maka, dengan kata lain, Luther mengartikan bahwa dalam benda yang sama itu substansinya ada dua: roti sekaligus Tubuh Kristus; dan anggur sekaligus juga Darah Kristus.

Luther berpendapat demikian karena ia mengambil analogi Inkarnasi, yaitu bahwa Tuhan Yesus mengambil rupa manusia, dan karena Ke-Tuhanan-Nya yang omnipresent, maka kemanusiaan-Nya juga dapat hadir di mana-mana, yang dikenal sebagai ubiquitism. Semoga tidak ada yang tersinggung jika kita mengatakan, bahwa sesungguhnya pengajaran ini sulit diterima akal, karena itu sama saja mengatakan bahwa kehadiran-Nya dalam hosti kudus, sama saja dengan kehadiran-Nya dalam semua makanan dan benda-benda yang lain.[13] Ajaran ini sepertinya mencampur-adukkan hal yang suci dan yang profan, antara sakramen dan yang bukan sakramen. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan self-evident principle, (prinsip yang tak perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu “sesuatu tidak dapat menjadi dan tidak menjadi dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.”


Mungkin karena sulitnya prinsip ini diterima secara umum, maka terdapat banyak pendapat yang saling bertentangan bahkan di kalangan gereja-gereja Protestan sendiri. Kita melihat posisi ekstrim yang dianut oleh Ulrich Zwingli (1483- 1531), yaitu bahwa Yesus tidak mungkin hadir secara nyata (bodily/ real prensence) di dalam Ekaristi [mereka menyebutnya Perjamuan/the Lord’s Supper]. Maka roti dan anggur menurut Zwingli hanyalah simbol saja, sebagai tanda akan Tubuh Kristus, dan tanda akan Darah-Nya. Posisi Zwingli ini tidak bisa menjelaskan Sabda yang dikatakan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku”, sebab ia mengartikannya sebagai, “Ini adalah simbol Tubuh-Ku”, yang tentu saja tidak sesuai dengan teks Alkitab.


John Calvin (1509- 1564) kemudian mengambil jalan tengah antara Luther dan Zwingli, dengan mengatakan bahwa kehadiran Yesus di dalam rupa roti dan anggur itu merupakan kehadiran yang nyata, namun hanya spiritual, bukan secara badani. Jadi roti itu bukan sungguh-sungguh Tubuh Yesus, dan anggur itu bukan Darah Yesus, namun Yesus secara spiritual hadir di dalamnya.[14] Maka bagi Calvin, komuni bukanlah persatuan dengan Tubuh Kristus secara literal, tetapi hanya secara spiritual dengan iman. Oleh karena itu, Calvin serupa dengan Melancthon, murid Luther, yang mengatakan bahwa, kehadiran Kristus tidak tergantung dari perkataan konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang bicara atas nama Kristus, melainkan tergantung dari iman pribadi yang menerima komuni. Sebenarnya, jika kita kembali kepada teks Alkitab, kita tidak dapat menemukan dasar bahwa kehadiran Yesus ‘tergantung dari iman pribadi yang menerimanya’. Sebab Yesus hanya berkata dengan jelas dan sederhana, “Inilah Tubuh-Ku…” Dan Gereja Katolik percaya bahwa Sabda-Nya yang berkuasa membuat-Nya menjelma menjadi manusia (lih Yoh 1:14), juga berkuasa mengubah substansi roti itu menjadi Tubuh-Nya. Maka setelah konsekrasi, sepanjang roti itu berupa roti, dan belum terurai menjadi rupa yang lain (rusak secara natural, atau dicerna tubuh manusia), maka Yesus hadir secara nyata oleh kuasa Roh Kudus-Nya.

Selanjutnya, Luther dan Calvin tidak menganggap Ekaristi (the Lord’s Supper/ Perjamuan Kudus) pertama-tama sebagai kurban peringatan dan pernyataan iman akan Misteri Paska Kristus. Karena doktrin “sola fide” (hanya iman saja) yang mereka anut, maka mereka cenderung menganggap Misa yang dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai ‘perbuatan’ manusia. Mereka tidak melihat bahwa Ekaristi, yang walaupun melibatkan umat namun pertama-tama adalah perbuatan nyata Kristus sebagai Kepala dengan kesatuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yang oleh kuasa Roh Kudus-Nya yang melintasi batas ruang dan waktu, mampu menghadirkan kembali kurban salib-Nya untuk mendatangkan buah-buahnya kepada Gereja-Nya sampai akhir jaman.

Maka, bagi Calvin, Perjamuan Kudus tersebut pertama-tama merupakan pernyataan kasih Tuhan.[15] Gereja Katolik tidak menyangkal bahwa Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan, namun Gereja Katolik juga melihat bahwa hal ini tidak terlepas dengan perbuatan Kristus yang mengikutsertaan anggota-anggota Tubuh-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh-Nya sebagai Kepala. Dalam Misa, Yesus menjalankan peran-Nya sebagai Pengantara yang tunggal antara Allah dan manusia; dengan mengucapkan syukur kepada Allah Bapa dalam kuasa Roh Kudus, dan pada saat yang sama, menjadi kurban dan Imam Agung untuk menyalurkan rahmat pengampunan dosa demi keselamatan kita. Sebab sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi agar kita beroleh hidup yang kekal (lih. Yoh 6:54); dan agar kita mengenang-Nya dengan cara demikian sampai kedatangan-Nya kembali (1 Kor 11:26). Maka, adanya Ekaristi, adalah pertama-tama karena rahmat Kristus, yang mengundang kita untuk mengambil bagian di dalam-Nya, dan karena itu, Misa bukan ‘perbuatan’ kita semata-mata.

No comments:

Post a Comment